Wartabpn- Tak bisa disangkal, sejak dulu hingga kini industri hulu migas masih memberikan sumbangan besar terhadap pendapatan negara dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Kurun waktu 2020-2022 saja, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat penerimaan negara dari industri hulu migas senilai Rp700 triliun. Persoalannya, kondisi hulu migas RI saat ini menghadapi beberapa tantangan.
Blok Masela yang terletak di Laut Arafuru merupakan salah satu prospek ladang migas terbesar di Indonesia
Selain sumber migas secara alamiah semakin menyusut, investasi yang mahal dan berisiko juga menjadi kendala untuk menemukan cadangan migas baru. Padahal, kebutuhan konsumsi energi fosil di sektor industri, transportasi, komersial dan rumah tangga terus meningkat signifikan. Terkait hal ini, pengambilalihan hak partisipasi Shell Upstream Overseas Services (l) Limited (SUOS) sebesar 20% oleh PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Upstream PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan 15% oleh Petronas di Blok Masela senilai US$650 juta atau setara Rp9,75 triliun itu menjadi sangat penting. Wilayah kerja migas lepas pantai itu bakal memegang peranan kunci dalam pemenuhan kebutuhan dan ketahanan energi nasional.
Blok Masela yang terletak di Laut Arafuru merupakan salah satu prospek ladang migas terbesar di Indonesia. Produksinya diestimasikan dapat mencapai 1.600 juta kaki kubik per hari (MMscfd) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun MTPA dan gas pipa 150 MMscfd, serta 35.000 barel kondensat per hari (bcpd). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan masuknya PHE diyakini bisa mengakselerasi pengembangan salah satu proyek strategis nasional (PSN) tersebut. Pasalnya, PHE memiliki pengalaman panjang dalam kegiatan eksplorasi, pengembangan, dan produksi minyak dan gas laut dalam baik di Indonesia maupun di luar negeri. “Untuk bisa memenuhi kebutuhan energi nasional perlu dijaga pasokan migas dari sisi hulu.
Selain mengelola lapangan eksisting, masuknya PHE untuk mengelola Lapangan Abadi di Blok Masela ini akan bisa menjaga komitmen kepastian pasokan migas itu,” ungkap Nicke saat menghadiri penandatanganan akuisisi kepemilikan SUOS di Blok Masela di acara Indonesia Petroleum Association (IPA) di Tangerang, Selasa, (25/7). Terlebih lagi, PHE melalui salah satu anak usahanya, juga memiliki pengalaman yang terbukti dalam pengembangan dan pengoperasian Kilang LNG Badak dan juga pemasaran LNG domestik dan internasional.
Melalui pengalaman itu, PHE diharapkan bisa memberikan kontribusi optimal, termasuk dalam operasional di Blok Masela. “Kemampuan dan kehandalan PHE itu menjadi bukti kuat bahwa Pertamina selaku BUMN dapat membangun kerjasama dengan partner global. Setelah akuisisi ini, kami berharap proyek LNG Abadi Blok Masela dapat on stream pada 2029. Ini memang lebih cepat 2 tahun dari rencana awalnya beroperasi rentang 2031 sampai 2032.” Bersama dengan Petronas Masela Sdn. Bhd. (Petronas Masela), PHE nantinya akan mendapat porsi 20% kepemilikan sementara Petronas Masela 15%.
Pengelolaan Blok Masela ini juga berpotensi menyerap hingga 10.000 tenaga kerja dan membantu percepatan pengembangan ekonomi di wilayah Indonesia Timur. Kejar Target Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mendukung PHE untuk segera mempercepat proyek Blok Masela yang sempat tertunda lama. Salah satunya soal pekerjaan lapangan yang harus segera dituntaskan seperti analisa dampak lingkungan serta penyelesaian revisi rencana pengembangan lapangan (PoD) pemasangan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). “Ini juga harus segera ada tender untuk melakukan engineering dan diharapkan tahun depan pelaksana kegiatan engineering bisa secara masif dilakukan sehingga akhir tahun depan final investment decision (FID).
Setelah itu, di awal Agustus harusnya sudah ada pertemuan antara Inpex dengan Pertamina dan PHE untuk introduction workshop,” katanya. Direktur Utama PHE Wiko Migantoro membenarkan setelah pengalihan hak partisipasi ini, Pertamina memang meminta untuk segera mempercepat pemanfaatan sumber energi, terutama gas yang ada di Blok Masela. Hal ini dilakukan terkait dengan kebijakan nasional dalam menghadapi transisi energi.
“Fokus kita melakukan Front End Engineering Design (FEED) secepatnya, merampungkan FID kemudian konstruksi dan bisa on stream paling cepat 2029. Jadi target sampai akhir tahun ini kita fokus menyelesaikan administrasi dan FEED serta pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya tertunda seperti analisa lingkungan,” ujarnya, saat ditemui selepas penandatanganan, Selasa (25/7).
.
Wiko mengatakan, Blok Abadi Masela kelak juga dapat menjaga ketahanan pasokan energi di Indonesia dan menutupi lebih dari 10% permintaan Jepang dan beberapa negara Asia Timur akan suplai gas alam cair atau LNG. “LNG saat ini telah menjadi komoditas energi yang sedang naik daun seiring komitmen dan arah kebijakan transisi energi global. Kita ketahui gas alam merupakan sumber energi bersih yang memiliki tingkat emisi lebih rendah dibanding batu bara dan minyak bumi.
Sehingga, Pertamina sebagai induk mendorong akselerasi proyek gas dan pemanfaatannya untuk berbagai sektor konsumen,” jelasnya. Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai akuisisi hak partisipasi Shell di Blok Masela oleh BUMN merupakan cerminan keseriusan negara menjaga ketahanan energi nasional, sekaligus merealisasikan rencana transisi energi menjadi lebih hijau. “Saat ini ketahanan energi di Indonesia sudah masuk kategori lampu kuning, terutama minyak. Gas secara neraca memang cukup, tapi potensi defisit tetap ada.
Gas sendiri emisinya paling rendah, jadi pengembangan Blok Masela ini artinya juga cocok dengan gambaran besar rencana transisi energi nasional,” ujarnya kepada Bisnis. Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menyebut kemampuan PHE di lapangan sudah teruji secara domestik maupun mancanegara. Oleh sebab itu, penugasan pemerintah kepada BUMN untuk mengoperasikan Blok Masela juga merupakan salah satu pembuktian perseroan sebagai tulang punggung hulu migas nasional sekaligus menjaga ketahanan energi.
Namun, Toto melihat setidaknya ada dua hal krusial yang harus mendapat perhatian berbagai pihak. Pertama, memastikan buyer sebagai offtaker gas yang dihasilkan agar bisa memberikan kepastian bisnis bagi operator pengelola seperti PHE. Kedua, insentif kebijakan di bidang fiskal maupun nonfiskal dari pemerintah, agar progress lebih cepat, serta agar Pertamina dan PHE tidak terlalu terbebani dengan penugasan ini. (Nyoman A. Wahyudi dan Aziz Rahardyan)
Post a Comment