Ketua DPW Partai NasDem Kaltim ini melanjutkan, pekan ini pembahasan besaran UMP Kaltim 2023 akan dilakukan Dewan Pengupahan. Yang terdiri dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim mewakili unsur pemerintah, lalu organisasi pengusaha, serikat pekerja atau serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar. “Masih belum dibahas. Tapi range-nya (kisaran) antara 1 sampai 1,5 persen. Bahkan bisa saja tidak naik. Yang akan dibahas sesuai dengan mekanisme. Dan sudah ada rujukannya oleh Dewan Pengupahan,” ungkapnya.
Menurut gubernur, pembahasan UMP oleh Dewan Pengupahan merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 (PP 36/2021). Besaran upah minimum diumumkan paling lambat 21 November. Dijelaskan Isran, penetapan UMP mengacu kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Aspek ekonomi dan ketenagakerjaaan memiliki variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Lanjut dia, tahun lalu serikat buruh meminta kenaikan UMP Kaltim mempertimbangkan inflasi. Bukan mengacu a PP 36/2021. Jika mengacu pada inflasi tahun lalu, maka besaran kenaikan UMP Kaltim 1,68 persen atau sekitar Rp 50 ribu. Nominal itu dianggap sesuai dengan daya beli masyarakat Kaltim. Sementara pada tahun ini, penetapannya berbeda dengan tahun lalu. Karena adanya kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). “Makanya nanti akan dilihat lagi. Mudah-mudahan pembahasannya, nanti baik-baik saja, ya. Karena bisa saja kenaikannya nol persen atau tidak naik. Atau bisa saja dikurangi. Dan nanti akan dibahas,” ungkapnya.
Suara Buruh di Depenas Pecah
Dari Jakarta, jelang penetapan upah minimum 2023, Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) masih pecah suara. Unsur pengusaha dan pemerintah ngotot untuk menggunakan peraturan pemerintah (PP) 36/2021 soal pengupahan terkait penentuan besaran upah minimum tahun depan. Sedangkan, unsur pekerja/buruh tegas menolak. Mereka meminta, perhitungan kenaikan tak menggunakan PP turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi, turut mempertimbangkan kondisi di lapangan.
Anggota Depenas dari perwakilan serikat pekerja/buruh Mirah Sumirat mengatakan, sampai detik ini, suara pengusaha dan pemerintah sudah sangat bulat untuk menggunakan PP 36/2021 sebagai dasar penentuan upah minimum 2023. Sementara, suara unsur pekerja/buruh di Depenas justru terpecah. Dari lima organisasi pekerja/buruh yang ada di Dapenas, hanya dua yang tegas menyuarakan kenaikan upah minimum 2023 tidak menggunakan PP tersebut. Yakni, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Ghani.
”Jadi kami suara minoritas. Kami sudah menghadapi pengusaha dan penguasa, lalu tiga suara buruh lainnya malah ke sana,” ungkap Mirah pekan lalu. Penolakan ini, kata dia, tidak serta merta. Ada data dan dasar kuat mengapa pihaknya menolak. Salah satunya, soal besaran kenaikan upah minimum yang rendah. Jika penetapan UM 2023 diputuskan menggunakan PP 36/2021 maka jelas kenaikannya tak jauh beda dari tahun 2022, hanya berkisar 1-2 persen saja. Padahal, inflasi terus merangkak naik.
Dia melanjutkan, kenaikan upah minimum ini memang secara tertulis ditujukan untuk pekerja 0-1 tahun dan lajang. Namun kenyataannya, di lapangan, banyak perusahaan yang mengimplementasikan angka tersebut sebagai acuan kenaikan gaji para pegawai yang sudah bekerja puluhan tahun. Hanya 10 persen perusahaan yang benar-benar menerapkan perhitungan struktur upah, itu pun kebanyakan perusahaan asing. Oleh karenanya, kenaikan upah minimum ini sangat penting bagi seluruh pekerja/buruh. ”Kami mengusulkan kenaikan sebesar 13 persen. Angka ini pun sesungguhnya masih di bawah angka riil. Kami memahami saat ini masih recovery pascapandemi Covid-19,” paparnya.
Mirah mengatakan, angka tersebut tidak saklek. Pekerja/buruh masih membuka ruang diskusi soal angka kenaikan upah minimum ini. Namun, mereka tegas menolak perhitungan menggunakan PP 36/2021. ”Jangan gunakan PP, karena akan mentok 1-2 persen. Mari duduk bersama, ayo berunding. Data di kami seperti ini, perusahaan juga harus mau membuka kondisi keuangannya yang sebenarnya,” tegasnya. Bila pemerintah masih kekeuh menggunakan PP 36/2021, lanjut dia, pekerja/buruh seluruh Indonesia siap melakukan mogok nasional. Saat ini skema untuk mogok nasional pun sudah disusun. Surat edaran dari organisasi untuk acuan mogok nasional ini pun sudah dikonsolidasikan di pengurus-pengurus serikat pekerja di semua provinsi.
Senada, Presiden KSPSI Said Iqbal juga tegas menolak PP 36/2021. Menurutnya, aturan turunan dari UU Cipta Kerja itu harusnya tak digunakan karena UU tersebut sudah dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi. Perhitungan harusnya kembali menggunakan PP 78/2015. Selain itu, pertimbangan lainnya ialah dari perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saat ini. Inflasi Januari–Desember 2022 diperkirakan 6,5 persen. Ditambah pertumbuhan ekonomi yang dari prediksi Litbang Partai Buruh itu mencapai 4,9 persen dan daya beli buruh sebesar 1,6 persen, maka kenaikan upah harusnya mencapai 13 persen. Said pun meminta, pengusaha dan pemerintah tak menggunakan dalih resesi di tahun depan untuk berkelit soal kenaikan UM 2023.
Termasuk, untuk melakukan PHK dengan memberi pesangon murah dan menggantinya dengan buruh outsourcing. Karena faktanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia positif. Sehingga, resesi tak akan terlalu berdampak pada Indonesia. ”Jangan takut-takuti rakyat. Itu tugasmu...,” tegasnya. Dia pun turut meluruskan adanya isu PHK besar-besaran pada sektor garmen dan tekstil. Dari pengamatan di lapangan, PHK memang ada namun anehnya rekrutmen pun cukup besar. Sehingga diduga ini hanya bentuk akal-akalan pengusaha untuk mengganti pekerja tetapnya dengan pekerja kontrak.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memastikan penetapan upah minimum 2023 akan menggunakan skema dalam PP 36/2021 tentang Pengupahan. Rencananya, angkanya diumumkan pada 21 November 2022. Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi menyatakan, pihaknya telah mengantongi data penunjang untuk penetapan UM dari Badan Pusat Statistik (BPS). Saat ini data tersebut masih dalam proses penggodokan. ”Tunggu dulu, nanti kalau sudah ada informasi yang jelas, akan kami sampaikan,” tuturnya saat ditemui seusai penandatanganan kerja sama pelatihan berbasis kerja antara Kemenaker dan Kementerian Federal Tenaga Kerja dan Ekonomi Austria di Jakarta, Kamis (10/11).
Hal tersebut diamini Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Dita Indah Sari. Dia mengatakan, data yang masuk saat ini baru inflasi nasional. Sedangkan untuk UMP, diperlukan data inflasi per daerah, bukan inflasi nasional. ”Iya, pakai formula PP 36/2021 dong. Jadi, formula itu kan upah sekarang ditambah inflasi atau pertumbuhan ekonomi,” terangnya. Dari formula tersebut, Dita tak menutup kemungkinan bahwa kenaikan UM 2023 bakal lebih tinggi daripada tahun lalu. Sebab, formula perhitungan yang digunakan bergantung pada angka inflasi. Belum lagi, tiap provinsi memiliki besaran angka inflasi berbeda-beda yang memungkinkan satu provinsi lebih tinggi dibanding yang lain. ”Kalau inflasinya tinggi, kenaikannya tinggi kan. Tapi, kita tidak mendoakan inflasi tinggi ya. Karena harga barang pasti nanti jadi lebih tinggi,” paparnya.
Dita mengisyaratkan kenaikan tak akan sebesar tuntutan para buruh/pekerja sebesar 13 persen. Sebab, bila kenaikan upah minimum sebesar itu, inflasi juga harus tinggi. Sebelumnya sejumlah ekonom menyatakan bahwa kenaikan UM sebesar 6–7 persen masih memungkinkan. Saat hal itu dikonfirmasikan kepada dirinya, Dita memberikan sinyal positif. ”Mungkin (bisa naik 6–7 persen). Pinter BPS sih, soalnya otoritatifnya BPS. Kita pegang data BPS,” ungkapnya. Disinggung soal waktu pengumuman besaran UM 2023, Dita mengatakan bakal disampaikan pada 21 November 2022. Setelah itu barulah UMP diputuskan oleh para gubernur masing-masing. ”Kadang sih kebanyakan pemda sesuai dengan batas waktu, tapi ada juga beberapa yang mundur sampai Desember,” imbuhnya. (mia/agf/jpg/riz/k16)
RIKIP AGUSTANI
Post a Comment