Wartabpn - Indonesia -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melirik reaktor nuklir berjenis Molten Salt Reactor (MSR) dalam kaitannya dengan penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia. Amankah?
Sebelumnya, dilansir situs resminya, BRIN mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema "Compact Molten Salt Reactor Seaborg, Fuel and Waste Treatment Technology" secara online pada Selasa (13/12). FGD itu diadakan bekerja sama dengan Seaborg Technologies asal Denmark.
Dalam FGD itu, Nikolaj Ager Hamman dari Seaborg mengklaim Compact Molten Salt Reactor (CMSR) cocok digunakan di Indonesia karena "dapat disesuaikan ukuran, tempat, dan
"Bahkan bisa ditempatkan di atas kapal laut yang berjalan. Reaktor juga bisa ditempatkan bersama-sama, misal dua reaktor yang menghasilkan 200 MW, atau 4 reaktor yang menghasilkan 400 - 600 MW. Bahkan maksimal bisa 8 reaktor yang menghasilkan 800 MW," ujarnya.
Selain itu, CMSR diklaim juga "lebih efisien" karena menggunakan bahan bakar cair. Bahan bakar CMSR, dikatakan Nikolaj, "stabil secara kimia dan produk fisi berumur pendek. Oleh karena itu secara radiologis limbahnya mirip dengan limbah radioaktif rumah sakit dan dapat ditangani dengan menggunakan metode konvensional"
Namun demikian, MV Ravana, peneliti dari Simons Chair in Disarmament, Global and Human Security at the Liu Institute for Global Issues, University of British Columbia, dalam tulisannya di The Conversation pernah mengkritik penggunaan teknologi MSR di Kanada.
Pada OKtober 2020, Kementerian Inovasi, Sains, dan Industri Kanada mengumumkan hibah US$20 juta (sekitar Rp311 miliar) untuk Terrestrial Energy dan Integral Molten Salt Reactor (IMSR) milik mereka.
Ada beberapa hal yang menjadi poin dalam tulisan berjudul Nuclear power: Why molten salt reactors are problematic and Canada investing in them is a waste.
Tak Konsisten
MSR sendiri, tulis Ramana, bekerja dengan menggunakan bahan kimia yang dicairkan seperti litium florida dan magnesium klorida untuk menghilangkan panas yang diproduksi di dalam reaktor. Dalam kebanyakan reaktor, bahan bakarnya juga dilarutkan dalam garam cair.
Desain seperti itu dinilai Ramana tak lazim ditemukan di kebanyakan desain reaktor tradisional yang ada di Kanada yang bernama Canada Deuterium Uranium (CANDU). CANDU menggunakan air berat (air dengan deuterium) untuk mengalirkan panas, memperlambat atau 'mengendalikan' neutron yang diproduksi selama fisi.
"Sebagai fisikawan yang menganalisis desain reaktor nuklir berbeda, termasuk reaktor modular kecil, saya percaya MSR cenderung tidak akan sukses diaplikasikan dalam waktu dekat. Teknologi itu menghadapi masalah teknis dan tidak bisa dipercaya untuk memproduksi listrik secara konsisten," tulisnya.
Amat mahal
Lebih lanjut, Ramana juga menyoroti soal bahan bakar yang digunakan di MSR. Menurutnya, karena menggunakan bahan bakar yang berbeda, MSR butuh "fasilitas khusus -yang tidak ada di Kanada saat ini- untuk memproduksi bahan bakar itu".
Pada IMSR milik Terrestrial, Ramana menyebut uranium yang diperkaya harus diproduksi menggunakan sentrifugal. Sementara, reaktor MSR milik Moltex didesain menggunakan proses kimiawi spesial yang disebut pyroprocessing untuk memproduksi plutonium yang dibutuhkan sebagai bahan bakar.
"Itu sangat mahal dan tidak bisa diandalkan," kata Ramana.
Kekhawatiran soal desain dari Moltex itu juga pernah diutarakan oleh para ahli dari Amerika Serikat kepada Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau. Pasalnya, dua desain itu punya potensi membuat material fisi yang digunakan di senjata nuklir.
Operasional kerap bermasalah
Selain soal teknis, Ramana juga menunjukkan sejarah buruk dari penggunaan MSR. Peristiwa pertama terjadi pada 1954, di mana Aircraft Reactor Experiment hanya mampu beroperasi selama 100 jam.
Ada pula Molten Salt Reactor Experiment yang beroperasi secara berselang dari 1965 hingga 1969. "Selama empat tahun itu, operasi reaktor tersebut diinterupsi sebanyak 225 kali dengan hanya 58 di antaranya yang direncanakan. Sisanya, interupsi terjadi karena masalah teknis" tulisnya.
Sampah radioaktif
Masalah lain yang tak kalah penting adalah dampak sampah radioaktif dari reaktor MSR. Berlawanan dengan yang disebut Hamman, sampah radioaktif MSR "sulit ditangani karena berada dalam bentuk yang tidak diketahui oleh alam".
Raman juga menyebut masih ada ketidakjelasan soal "tempat pembuangan sampah yang mampu mengakomodasi sampah dengan level setinggi itu".
artikel CNN
Post a Comment